Ceki diyakini berasal dari permainan kartu Tionghoa kuno yang menggunakan gambar-gambar abstrak berbasis satuan koin kepeng, mirip dengan simbol pada permainan mahjong. Menurut Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450–1680, permainan kartu seperti ceki diperkenalkan oleh pedagang Tionghoa ke wilayah Nusantara melalui jalur perdagangan. Pada masa kolonial, ceki menjadi populer di berbagai kalangan, dari rakyat jelata hingga priyayi dan bangsawan, serta sering dimainkan pada acara sosial seperti pasar malam atau hajatan.
Di Indonesia, ceki sangat populer di daerah seperti Sumatera Barat, Bali, dan komunitas Peranakan Tionghoa, seperti masyarakat Cina Benteng di Tangerang. Permainan ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana pergaulan dan interaksi sosial. Namun, seiring waktu, ceki sering diasosiasikan dengan perjudian, terutama karena taruhan uang atau barang yang kerap menyertai permainan.
Aturan Permainan Ceki
Ceki dimainkan menggunakan 180 kartu yang terdiri dari tiga set, masing-masing berisi 10 jenis kartu dengan simbol koin, tali, dan muka. Setiap kartu memiliki nama dan nilai tertentu, yang harus dihafal oleh pemain. Permainan ini biasanya melibatkan 2 hingga 6 pemain, dengan format paling umum adalah 4 pemain yang dibagi menjadi dua tim. Berikut adalah gambaran umum aturan permainan berdasarkan sumber tradisional:
- Tujuan Permainan: Mengumpulkan kartu dengan jenis yang sama atau pasangan pigura (bingkai) tertentu untuk mendapatkan poin tertinggi.
- Pembagian Kartu: Setiap pemain mendapat sejumlah kartu dari tumpukan, dan sisanya diletakkan di tengah sebagai tumpukan tarik.
- Jalannya Permainan:
- Pemain bergiliran mengambil kartu dari tumpukan atau mengambil kartu yang dibuang pemain lain untuk membentuk kombinasi.
- Kartu tertentu, seperti kartu “hiu,” memiliki aturan khusus, misalnya tidak boleh digunakan untuk kombinasi tertentu atau dapat dibuang tanpa terikat oleh lawan.
- Pemain harus strategis dalam membaca gerakan lawan dan memutuskan kapan membuang atau menyimpan kartu.
- Kemenangan: Permainan berakhir ketika seorang pemain berhasil mengumpulkan kombinasi kartu yang memenuhi syarat kemenangan, atau tumpukan kartu habis. Poin dihitung berdasarkan kombinasi kartu yang dikumpulkan.
Permainan ini mengandalkan strategi, kerja sama tim (jika dimainkan berpasangan), dan kemampuan membaca psikologi lawan, yang membuatnya menarik namun juga kompleks.
Kontroversi dan Stigma Judi
Meskipun ceki memiliki nilai budaya sebagai permainan tradisional, asosiasinya dengan perjudian telah menciptakan kontroversi. Pada masa kolonial, ceki sering dianggap sebagai “casino-nya Jawa” dan identik dengan dunia kriminal serta taruhan besar. Koran-koran Belanda pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 kerap menggambarkan pemain ceki, terutama perempuan, secara negatif, dengan narasi yang memperkuat stereotip patriarkis.
Di Indonesia, ceki diatur dalam kerangka hukum perjudian. Menurut Pasal 303 KUHP, perjudian, termasuk ceki jika melibatkan taruhan uang, dapat dikenakan pidana penjara hingga 4 tahun bagi pemain dan hingga 10 tahun bagi penyelenggara. Penangkapan terkait ceki juga tercatat, seperti kasus di Pasaman Barat pada 2022, di mana polisi menyita kartu ceki dan uang taruhan.
Namun, tidak semua komunitas menganggap ceki sebagai judi. Di Sumatera Barat, misalnya, ceki sering disebut sebagai “permainan ber-adat” yang dimainkan untuk hiburan dan mempererat silaturahmi, tanpa taruhan besar. Di Bali, ceki bahkan diakui sebagai olahraga rekreasi oleh Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI), dengan turnamen yang diadakan untuk menghapus stigma judi.
Makna Budaya dan Tantangan Modern
Ceki bukan hanya permainan, tetapi juga cerminan akulturasi budaya Tionghoa dan lokal. Nama-nama kartu dalam bahasa Jawa, seperti yang tercatat dalam buku kuno Panoentoen Kasoekan Pei, menunjukkan proses adaptasi budaya. Di Bali, ceki mengandung filosofi Tri Hita Karana, yang menekankan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Meski begitu, popularitas ceki menurun di era modern, terutama di Malaysia dan Singapura, karena munculnya permainan digital dan judi online. Di Indonesia, ceki masih bertahan di komunitas tertentu, tetapi menghadapi tantangan dari persepsi negatif dan regulasi ketat terhadap perjudian. Upaya pelestarian, seperti turnamen ceki di Bali, menjadi langkah untuk mempertahankan nilai budaya permainan ini tanpa unsur judi.